Jumat, 30 Desember 2022

PENIPU

Sebutlah aku penipu

Sejak aku bergerak tanpa kau tau

Sebutlah aku penipu

Sejak aku bicara tanpa peduli risaumu


Ya, Aku memang penipu

Yang sengaja membentuk jarak dengan pikirmu

Benar, Aku memang penipu

Yang enggan bersua denganmu


Jelas lah aku menipu

Karna itu tentang aku di otak cerdasmu



Kamis, 25 Juni 2020

CORONA TINGGAL CERITA

Gak ada satu pihak pun yang menduga akan adanya cerita panjang yang baru bagi umat manusia saat awal ditemukannya virus ini. Bidang kesehatan yang pertama diprediksi akan paling berdampak nyatanya juga menyenggol sisi lain dari kehidupan. Bagi saya, dampak ekonomi dan sosial lah yang paling terasa.


EKONOMI

Beruntung bagi saya yang berkesempatan untuk menjalani pekerjaan secara jarak jauh dan tetap mengindahkan anjuran #dirumahaja dengan Bekerja Dari Rumah (Work From Home). Rasa hormat dan salut dari saya kepada para pekerja yang harus lebih keras memutar otak dan perlu sedikit mengencangkan ikat pinggang untuk tetap bertahan hidup dan menjaga harga diri dari kehinaan sikap mengemis. Dan kepada pihak yang berjuang di lini terdekat dengan virus ini, bagi saya yang pernah bercita-cita menjadi seorang Pekerja Medis, kehadiran kalian saat ini sangat menggambarkan betapa saya pun bangga pernah memiliki cita-cita itu.

Kini perlahan namun pasti, 'fasilitas' WFH pun akan dikurangi. Kelak rutinitas akan kembali ke kondisi normal dengan perubahan/perbaikan perilaku penerapan pola hidup sehat dan menjaga jarak aman. Keputusan yang mungkin tepat, mungkin juga tidak. Sepertinya... ini adalah keputusan yang paling reliable dari pilihan yang ada.
Ruang Kerja selama WFH
 
SOSIAL

Kalau saja ini adalah cara Tuhan untuk 'mempersatukan kembali' keluarga yang selama ini lebih sering terpisah jarak karena rutinitasnya masing-masing, kondisi ini tentu menjadi 'surga'. Di sisi lain, kondisi ini juga menjadi 'neraka' bagi keluarga yang memang lebih 'nyaman' hidup berjauhan dan menjalani Quality Time tanpa memprioritaskan Quantity. Yang lebih menakutkan tentu cerita mengenai 'kebangkrutan' ekonomi yang berakhir pada 'kehancuran' kehidupan berkeluarga.

Periode-periode penting yang biasanya lebih hangat saat dirayakan dengan keluarga besar juga menghilang.
Momen berlebaran hanya kami lalui bertiga di rumah.
Momen sulit kami lainnya di Rumah Sakit juga kami lalui hanya bertiga.
Sempat berkunjung ke Bekasi 2x. 1x hanya ngobrol di teras rumah selama 1 jam. 1x masuk ke dalam rumah namun bermasker selama 3 jam.
Keluarga terdekat di Ciputat hanya kami kunjungi sesekali tanpa masuk ke teras rumah. Hanya ngobrol di depan pagar, di jalanan depan rumah.
Setelah momen sulit di Rumah Sakit itu, kami hanya menerima kunjungan keluarga serta teman dekat di teras rumah, dan gak sampai setengah jam.
Ini juga masih cukup beruntung, orang lain mungkin sama sekali gak bisa berkunjung ke keluarga yang jaraknya berjauhan, dan harus melalui semua ini dengan seorang diri, atau dengan 'keluarga baru' lainnya.
Lebaran serba putih bertiga

HIKMAH

Pada akhirnya kita wajib untuk menjadi bijak dalam memahami dan menjalani semua kondisi ini, termasuk saya sendiri.
Sempat berencana mengambil cuti besar saat Cila mulai sekolah supaya bisa 24 jam mendampingi proses belajar dan mengenal lingkungan baru, ternyata justru dimajukan jadwalnya. Ya, setidaknya 3 bulan 10 hari terakhir ini, nyaris 24 jam selalu bisa memantau pertumbuhan berat badan dan kebiasaannya bicara dengan English ketimbang Bahasa Indonesia hasil dari kebanyakan nonton Disney Junior.
Stabilnya angka berat badan di kisaran 69-71 Kg (biasanya di angka 72-75) selama WFH ditambah lebih rutinnya berolahraga di rumah, jogging, dan gowes juga menjadi hikmah lainnya dari kondisi ini.
Saya dan Cila

Gowes sampai gantung sepeda

Rabu, 27 Mei 2020

MANUSIA PEREKAYASA PENGUASA

"Wow.. kok bisa?"
Entah apa cuma saya yang berkali-kali mengucap kalimat di atas dalam kurun waktu 11 pekan terakhir. Waktu yang berjalan dengan unik ini rasanya akan menjadi perjalanan yang tidak mudah dilupakan, dengan apapun kita melewatinya.

Wow.. kok bisa?
2 pekan pertama adalah masa perkenalan kembali dengan keluarga. Selama ini saya pikir si Cila hanya akan 'takluk' dengan ajakan bermain dari Bundanya. Eh ternyata, semakin waktu berjalan, dia lebih suka main-main di belakang saya yang sedang sok sibuk di hadapan laptop. Kok bisa ya anak ini se-tertarik itu main-main di sekitar Ayahnya yang bahkan gak peduli apalagi ikutan main juga sama dia? Cari perhatian kah?

Wow.. kok bisa?
Pekan awal PSBB Tangsel pun datang. Dengan berbagai imbauan dan protokol kesehatan yang ditetapkan. Dinamika pergerakan manusia yang dibatasi itu pun mulai nampak patuh, dan akhirnya seperti hendak membebaskan diri dari pembatasan tersebut. Keluar-Masuk area rumah sebagai pertahanan terakhir, dengan keyakinan selama mematuhi imbauan dan protokol kesehatan dijamin akan 'aman' dari ancaman wabah. Kok bisa ya, ketika saya dan keluarga sangat membatasi diri kami untuk berinteraksi dengan dunia luar, bahkan ortu sendiri yang jaraknya tidak kurang dari 50Km tidak kami datangi, ada manusia lain yang 'selamat' dengan berpegang pada protokol itu? Jadi wabah ini sebenarnya gak se-menakutkan itu kah?

Wow.. kok bisa ya?
Masa PSBB yang berlalu tak terasa memasuki pekan ke 7, kemudian ada kabar bahwa wabah ini adalah konspirasi. Dibuat untuk alasan-alasan ekonomi dan pertahanan keamanan yang pada akhirnya berujung pada ekonomi juga. Bahasa mudahnya: Ujung Ujungnya Duid (UUD). Entah benar atau salah, sebuah teori konspirasi nyatanya merupakan teori yang cukup 'abadi' eksistensinya. Sama halnya seperti para ilmuwan bercerita tentang evolusi manusia sejak berbentuk Kera berjalan menunduk hingga menjadi Homo Sapiens dan terbentuklah manusia sempurna seperti saat ini. Kok bisa ya, wabah dijadikan Konspirasi bertujuan ekonomi sementara banyak nyawa melayang karena virus ini? Seorang teman lama malah bertanya balik ke saya: Kenapa gak bisa, Nen?

Wow.. kok bisa ya?
Beberapa ahli menyampaikan pendapatnya. Dengan data lengkap. Dan alasan ilmiah lainnya. Ada yang menjelaskan jumlah kasus wabah yang diprediksi secara numerik. Ada yang menjelaskan masa pandemi akan berakhir pada bulan-bulan tertentu. Ada juga yang bahkan, mempertanyakan kebenaran Data yang disajikan Pemerintah secara harian. Kok bisa ya manusia merekayasa ketetapan Sang Maha Kuasa? Untuk apa? Untuk siapa?



Jumat, 11 Oktober 2019

Bekerja Tanpa Standar

Malam ini saya sengaja keluar malam bersama Ibu untuk beli makan malam di Warung Tenda Pecel Lele yang biasa kami tuju. Ibu pesan 3 lele goreng dan 3 nasi uduk. Sementara saya tergiur dengan Nasi Goreng di sebelahnya yang sudah lama juga tak saya rasakan nikmatnya. Setelah pesan 1 porsi nasi goreng 'sedang' saya pun menjauh dari penjualnya karena aroma oseng-oseng masakannya yang membuat saya bersin-bersin. Tak lama, 3 lele dan 3 nasi uduk datang. Saya lalu memerhatikan, sudah ada 2 orang yang baru datang di Nasi Goreng itu setelah saya namun sudah mendapat pesanannya. Saya pun bertanya kepada si Bapak penjualnya. Dan jawaban Bapaknya: "Sorry ya mas lama." Hmmm rasanya saya mau protes karena sudah ada 2 orang yang sudah dapat pesanannya padahal saya yang antre duluan.

Sekejap saya teringat siang tadi di sebuah gerai Donat. Saya menemani Istri memesan Donat 1 lusin. Saat antrean tinggal 1 orang lagi, pelayannya malah menanyakan pesanan kepada seorang Pria yang antreannya berada di belakang kami. Katanya: "Bapak ini sudah antre duluan tadi."

Hooo ternyata kedua penyedia jasa makanan ini sama dalam memperlakukan 'Antrean Pelanggan' ya. Sama-sama menggunakan cara yang 'Tanpa Standar'.

Kemudian saya memerhatikan sebuah pekerjaan yang selama ini tidak pernah dibuatkan standarnya. Boro-boro standar layanan, standar antrean, atau standar reward. Prosedurnya saja bisa beraneka ragam tergantung variabel yang tak bisa diperkirakan. Meski dalam kesepahaman saya ada satu tolok ukur keberhasilan dari pekerjaan dimaksud. Hal itu adalah: Senyuman dari Stakeholder.

Dan pekerjaan itu adalah: Ibu.




(Maaf. Yang kunamai 'Ibu' ini sebenarnya bukanlah sebuah pekerjaan. Dia adalah: Segala yang baik setelah Allah dan Rasul-Nya)

Selasa, 01 Oktober 2019

Mencipta Nilai

Sejak kecil saya sudah dikenalkan dengan angka-angka yang mereka sebut sebagai 'Nilai'. Di sekolah misalnya, tingkat kelulusan saya selalu bergantung pada Nilai yang saya dapatkan setelah melalui Ulangan-Ulangan. Mulai dari Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, dan Ulangan Semesteran. Saya tak sempat mengenal yang namanya Catur Wulan. Penamaan 'Ulangan' ini katanya karena sifatnya mengulang pelajaran yang telah lalu dengan menjawab soal-soal yang kemudian ditarik hasil berupa Nilai.

Beranjak sedikit dewasa, saya mengenal Nilai sebagai sesuatu dalam satuan Mata Uang. Apalagi saat saya kuliah di kampus STAN, saya makin akrab dengan mengenal Nilai sebagai 'Rupiah' dari sisi Ekonomi dan Keuangan. Mulai dari mendefinisikan kegiatan ke dalam Rupiah, merencanakan kebutuhan tahunan ke dalam Rupiah, hingga menjadikan Rupiah sebagai faktor utama menentukan skala pembangunan dan pertumbuhan.

Dalam keseharian, tak jarang saya menemukan hal lain yang pada akhirnya saya menganggapnya sebagai Nilai dalam sudut pandang berbeda. Saya sudah mencoba mengelompokkannya menjadi beberapa Nilai. Misalnya saja Nilai Kemanusiaan, Nilai Kesopanan, Nilai Keharmonisan. Nilai lainnya... saya sudah tak mampu menjabarkannya lagi. Kemudian saya berpikir, untuk penjabaran nilai-nilai ini kenapa tak bisa sama sekali diwujudkan dalam angka-angka sebagaimana di sekolah ataupun dalam dunia ekonomi/keuangan ya?

Di masa sekolah, Nilai yang saya dapatkan adalah hasil dari pengulangan pelajaran yang dijadikan dalam soal-soal Ulangan. Adapun guru yang memberi nilai hanyalah perantara yang mendefinisikan hasil pengulangan itu.

Ketika membahas ekonomi dan keuangan, Nilai Rupiah selalu bisa ditemukan dengan berbagai metode dan standar yang telah umum digunakan. Setuju atau tidak, Nilai Rupiah semakin menjadi Satuan Riil dalam mendefinisikan pembangunan dan pertumbuhan.

Namun dalam keseharian, mengapa sesulit itu saya mencipta nilai? Menjabarkannya saja masih belum mampu.
Atau...
Seharusnya saya yang memberi Nilai?


Selasa, 17 September 2019

Jadwal Menunggu Giliran...

Pernah di suatu perjalanan, saya salah pesan tiket kereta. Dikiranya berangkat malam ini pukul 23.45, ternyata tanggalnya besok pukul 23.45. Karena terlanjur ada janjian besok paginya, malam itu saya refund tiket dan beli tiket 1x transit di Cirebon dengan waktu tempuh 1.5 jam. Awalnya menjadwalkan untuk tidur di kereta direct sampai Jakarta, eh malah harus lebih menahan kantuk 1.5 jam agar tak terlewat di stasiun Cirebon. Jadwal janjian juga harus geser sedikit. Well.. kita hanya bisa menjadwalkan tanpa mampu memastikan berjalannya jadwal tersebut.

Di suatu pagi, saya sedang ingin sekali berkendara motor ke kantor. Berangkat lah saya pukul 5.30. Perkiraan waktu perjalanan 60-75 menit sampai kantor. Di perjalanan agak sepi. Terbesit pikiran untuk sedikit tancap gas supaya bisa tiba lebih cepat dan bisa tidur pagi di kantor. Tiba-tiba terdengar suara BRAKKKKKK!!! TREZZSS!!!. Sekilas kuintip di kaca spion, sepertinya sebuah motor menabrak Alphard dan terpental. Tak jelas nasibnya, tapi dari suaranya, sepertinya lumayan parah kecelakaan itu. Saya tak berani berhenti untuk melihat TKP. Tapi laju motor jadi melambat, hingga sampai kantor ternyata tetap butuh waktu 75 menit.

Saya adalah pengguna ojek online. Terutama di pagi dan sore hari untuk transportasi Stasiun-Kantor-Stasiun. Dan pagi itu terasa beda. Bapak drivernya lambat banget. Kesal? Banget! Lalu sayup-sayup saya dengar Bapaknya seakan ngajak ngobrol, "Mas, di Lapangan Banteng lagi ada Flona ya?". Saya diamkan karena kesal. Saya perhatikan, setiap melewati pohon yang rindang Bapak ini selalu melihat ke arah pohon itu sembari melambatkan laju motor. Mungkin sedang kangen kampung halaman yang masih penuh dengan pepohonan rindang, pikirku.
Lalu di pertigaan Hotel Borobudur agak macet. Si Bapak malah langsung tancap gas dan ambil jalur di antara mobil-mobil. "Kenapa gak daritadi aja pak?" Gumamku dalam hati. Ternyata di ujung kemacetan ada kecelakaan motor vs Bus. Ada korban tewas yang masih tergeletak belum sempat dipindahkan warga. Kemudian saya berpikir, 2-3 menit saja si Bapak mempercepat laju motornya tadi, bisa jadi Kami lah korban kecelakaan itu. Atau minimal, menjadi saksi mata kejadian tersebut. Pfiuhhh....

Awal menikah dulu, saya selalu berkeinginan naik gunung. Tak usah tinggi-tinggi. Asal naik gunung saja. Gunung pertama yang berhasil saya daki adalah Gunung Bromo. What? Itu mah bukan Gunung! Hahaha...
Lalu beberapa target gunung dibuat. Jadwal coba disusun. Buyar karena ternyata istri hamil muda. Dan setelah itu, coba-coba susun jadwal baru. Terdekat adalah coba-coba trekking cantik ke Kawah Ijen. Rencana sudah rapi. Cuti sudah disetujui. Packingan sudah lengkap. Mental insya Allah siap. Berangkat jam 5 dari Serpong supaya tak bersamaan dengan Anker Pekerja. Sampai di subuh hari pagi itu pukul 4.30 si Aji telepon. Jarang-jarang adik saya ini telepon. Dengan teriak dan terisak. "Lo dimana?! Bapak sekarat! Pulang sini!!!" Gak terpikir hal lain selain ambil wudhu untuk subuhan dan langsung cabut ke Bekasi. Shalat subuh saat itu, bahkan menjadi tak bersuara membaca Al Fatihah, sampai Istri saya bersuara "Subhanallah" menyadarkan saya. Memasuki rakaat kedua, handphone bunyi lagi. Panggilan masuk dari Taksi pikirku. Seusai shalat, segera saya lihat handphone. Ternyata telepon dari Aa. Saya telepon balik bermaksud mengabari tadi sedang shalat. Tapi kata Aa, "Yaudah gapapa. Santai aja. Ke Bekasi ya. Gausah buru-buru. Bapak udah gak ada... Hati-hati aja di jalan..." Sejak hari itu, banyak hal berubah. Rencana Trekking ke Kawah Ijen buyar. Hingga pendakian pertama saya ke Gunung Merbabu pertengahan Agustus 2015, air mata ini menetes ketika menginjak puncak. Seakan ingin mengulangi perbincangan dengan Bapak, "Pak, boleh naik gunung kan?" Dan membayangkan penolakan beliau seperti yang sudah-sudah dahulu. Padahal Bapak sudah, giliran saya kapan???


Jumat, 13 September 2019

Bekerja. Berkarya. Berbakti. Berjuang(?)


Setiap kita pernah menjadi seorang anak.
Sebagian dari kita mengenal orang tuanya.
Sebagian lainnya tidak.
Hanya imajinasi.
Atau juga berupa tokoh rekaan.
Kita hidup dan besar bersama orang tua sungguhan maupun imajinasi yang pada akhirnya akan membentuk karakter diri dan menjadikan kita berada di posisi sekarang ini.

Menjelang tahun ketujuh saya memiliki pekerjaan tetap. Anggaplah begitu.
Selalu teringat sebuah stiker pada sisi belakang sebuah motor di depan saya saat di perjalanan. Di situ tertulis “Harga Diri Seorang Pria adalah Bekerja” disertai ilustrasi ikonik seseorang berkendara motor. Mungkin Bapak itu adalah tukang ojek. Tak ada informan maupun narasumber yang bisa saya tanyakan maksud stiker itu. Termasuk si Bapak pemilik motor itu. Jadi saya mengambil kesimpulan, dengan saya tetap bekerja saat ini, saya masih memiliki harga diri.

Seorang kawan pernah juga berujar, kenapa jika di beberapa kantor menyebut pekerjanya sebagai ‘Karyawan’ bukan ‘Pegawai’? Yang saya tahu, Alm. Bapak saya dulu selalu menulis isian Pekerjaan dalam dokumen-dokumen sekolah saya dengan ‘Karyawan’, karena beliau memang Karyawan Swasta. Bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kala itu bagi saya, sebutan ‘Pegawai’ adalah untuk PNS, sedangkan Karyawan adalah pekerja yang tidak berstatus PNS. Sebuah penjelasan dari kawan itu cukup membuat saya tertawa kecil. Katanya: Karyawan itu output yang diharapkannya adalah Karya, Pegawai itu outputnya hanya bekerja. Hehehe…

Dewasa ini saya semakin sering mendengar jargon/ajakan/kampanye tentang ‘Berbakti untuk Negeri’. Sebuah kalimat yang bisa ditafsirkan dengan begitu banyak penafsiran dan berbagai sudut pandang. Selalu menyenangkan bagi saya untuk sekadar mendengarkan penafsiran yang berbeda itu. Yang paling seru, tafsiran sebagian orang yang menganggap ‘Berbakti untuk Negeri bisa saja dilakukan dengan Bekerja dan Berkarya di  Luar Negeri dengan membawa nama Bangsa Sendiri’ melawan pendapat ‘Berbakti untuk Negeri itu dengan Kembali ke Negeri Sendiri, dan Membuka Kesempatan sebesar-besarnya dengan Kemampuan Sendiri’. Bersyukurlah para pembesar negeri yang memiliki masyarakat dengan keberagaman sudut pandang seperti ini. Sementara di sudut-sudut yang tak jauh dari kita, masih ada yang sekedar berharap mendapat pekerjaan layak dan tetap berbakti dengan membayar pajak yang dibebankan kepadanya di tiap kegiatan perekonomiannya.

Sebagian dari kita mengidolakan sosok yang memiliki ‘Pengaruh’ di keseharian kita. Biasanya kita merasa dekat dengan sosok tersebut karena kita mengikutinya sepanjang waktu. Mengenalnya melalui karya, kemudian mencari tahu lebih jauh perjuangan hidupnya dalam menciptakan karya, dan tak jarang yang akhirnya mencoba menduplikasi kisahnya di kehidupan keseharian meski ada perbedaan dimensi yang cukup beragam. Seringkali kita lupa, ada sosok-sosok terdekat yang benar-benar nyata perjuangannya dalam mendampingi kita sejak kita masih belum bisa apa-apa hingga menjadi seperti sekarang ini. Lucunya, kita selalu lupa memasukkan mereka ke dalam daftar tokoh idola kita. Seperti saya yang tetap mengidamkan mampir ke sungai di Venice padahal ada Kalimalang di sini. J